Salam Akhukum Fillah....

Ahlan Wasahlan.....

Senin, 09 Mei 2011

Problema Keimanan

A. Kualifikasi Keimanan
Menghadapi permasalahan yang pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya. W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu: 1. Keimanan yang verbalistik; 2 keimanan yang intelektualistik; 3 keimanan yang demonstratif; dan 4 keimanan yang komprehensif integrative. Garis besar orientasi keempat tingkat keimanan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Keimanan yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata magis keagamaan. Proses penerimaannnya langsung melalui prinsip stimulus-stimulus. Karena itu proses belajarnya berlangsung secara persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa untuk membantu memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang seksama. Pantulan psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa telah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata.

2. Keimanan yang Intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berpikir secara kreatif yang lebih menjelimet dalam mencari kebenaran iman dibanding dengan tingkat yang pertama di atas. Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alasan-lasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinannya. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keakinannya. Selebihnya perlu dicatat bahwa tidak perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berpikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya Tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theology, maupun secara pragmatik. Bukti-bukti ontology didasarkan atas ide dan pemikiran manusia tentang Tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta dan harus ada karena ada alam ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya Pencipta dengan makhluk-Nya, karena itu Tuhan adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan adanya Tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.

3. Keimanan yang Demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrative dari pada hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan di sini berbeda disbanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun yang bertipe intelektulistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis lohika mengenai benar-tidaknya keyakinan yang mendasarinya. Artinya belum tentu hasil analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama di sini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Jadi seorany muslim yang karena kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengarjalkan shalat shalat lima waktu apabila telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya itu didasarkan atas hasil analisisnya mengenai benarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan barbagai organism, maka hal itu biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya. Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan paksaan, atau tersembunyi sehingga menimbulkan rasa berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan tua tingkat di bawahnya, keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih tingga, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata. Apalagi disadari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam bentuk tindakan kongkrit merupakan satu prinsip yangbberlaku dalam kebanyakan lapangan kehidupan. Lebih tingga lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yangbertipe verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannnya.

4. Keimanan yang Komprehensif dan Integratif
Ketiga tipe dan tingkat keimanan di atas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lain terpisah. Justru karena keterpisahannya itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasaan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan integrative. Jelasnya apabila seseorang telah menguasai ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini. Konotasi komprehansifnya dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan di atas dalam sati totalitas yang terinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling memperkuat anatara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu maka terpatri tuntutan untuk mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konsepional tipa keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat. Paling jauh kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkat keimanan seperti ini akan memberikan daya tahan yang cukup kuat untuk menangkal hembusan-hembusan angin yang dapat menggoyahkan integritas dirinya dalam memegangi agama yang diyakininya. Konsekuensi logisnya kemungkinan terlibat dalam situasi problema keimanan masih terbuka, walaupun intensitasnya relatif rendah.

B. Keagamaan Mahasiswa
Kesinambungan uraian yang diungkapkan di atas memberi isyarat bahwa kehadiran problema keimanan pada setiap orang yang beragama diduga berkaitan erat dengan intensitas keterlibatannya dalam menggunakan kemampuan berpikir untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Kemampuan hidup di sini menyangkut aktivitas mental yang dapat menyampaikan pemikirnya pada kualifikasi rasionalistik. Biasanya aktivitas berpikir seperti ini ditujukan kepada berbagai tendensi teoritik dan praktik yang bermaksud untuk menafsirkan alam semesta ini semata-mata berdasarkan pemikiran, atau yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi sesuai dengan dasar-dasar pemikiran yang sedapat-dapatnya melenyapkan atau mendesak latar belakang segala sesuatu yang bersifat tradisional (Louis L. Snyder. 1965 ; 5).
Dengan mengacu pada batasan di atas, untuk mencari salah satu contoh keagamaan yang dipandang repserentatif mewakili seluruh masyarakat yang beragama, sejalan dengan orientasi pembahasan tentang problema keimanan ini, Kalish menonjolkan keagamaan mahasiswa. Dasar pemikirannya sederhana mahasiswa itu belum sepenuhnya termasuk kelompok ilmuwan, di lain pihak dengan kebiasaannya yang terikat pada aktivitas berpikir rasional, mereka juga sudah terlepas dari kelompok orang awam biasa yang terikat pada pemikirannya yang bersifat tradisional.
Dalam bukunya “ The Psychology of Human Behavior” (1970; 379), Richard A. Kalish menerangkan berbagai kampus. Di beberapa universitas, hampir semua mahasiswa mendatangi gereja. Namun setelah dihitung secara seksama, kira-kira seperempat mahasiswa datang menghadiri gereja secara teratur, dan seperempat lainnya tidak sama sekali. Kemudian kehadiran mereka di gereja menjadi semakin meningkat setelah mereka lulus.
Suatu penelitian besar yang mengamati tentang sikap para lulusan berbagai sekolah tinggi terhadap agama menunjukan hasil-hasil yang menarik untuk dipelajari. Para siswa yang menjadi responden itu ditanyai setelah empat tahun lulus dari universitasnya masing-masing. Dari mereka yang baru lulus dan bekerja terdapat 13% diantaranya yang menolak keyakinan agama. Sebaliknya mereka yang baru lulus tapi langsung bekerja, ternyata hanya terdapat 4% saja yang menolak keyakinan agama. Bahkan pada saat yang sama, mereka yang bekerja lebih berani menyatakan bahwa agama telah menjadi lebih penting selama empat tahun mereka belajar. Lebih menarik lagi ternyata apabila dibandingkan dengan mereka yang bukan mahasiswa, pada umumnya kelompok mahasiswa kelihatan berubah keyakinannya tidak lagi memegangi nilai-nilai agamanya yang tradisional.
Sikap keagamaan mahasiswa menghasilkan data, bahwa dari 4600 orang, separuh diantaranya menerima pandangan tentang Tuhan secara tradisional. Kemudian kurang dari 20% membuang ide tentang Tuhan, dan kebanyakan dari kelompok sisanya menyatakan bahwa mereka mempercayai terhadap orang lain, ilmu pengetahuan atau aturan alam. Lebih dari seperempatnya lagi mempercayai mengenai kekuatan yang lebih besar di luar dirinya sendiri. Yang mempunyai kekuatan itu bagi sebagian mahasiswa diorientasikan kepada Tuhan, sedang bagian lagi menyebutnya kekuatan alam. Hanya 1% sajalah yang betul-betul menegaskan bahwa mereka atheis.
Ada hal yang menarik mengenai keagamaan mahasiswa ini. Mereka mempraktekkan agamanya memang lebih merasa bahwa menipu adalah terlarang, tetapi anehnya mereka juga menyetujui terhadap pernyataan, “jika orang lain menipu, mengapa saya juga tidak?” ada juga sebagian kecil diantara mereka yang tidak menyukai adat atau norma-norma sosial yang ada.
Hasil-hasil dua survey terakhir juga mendukung data tersebut dengan beberapa catatan. Di tempat pemungutan suara “Newsweek’s” (1965) diperoleh angka bahwa 3⁄4 mahasiswa mempercayai terhadap adanya Tuhan, tetapi dalam beberapa kasus keyakinan tersebut lemah sekali. Demikian pula hampir 40% yang diwawancarai merasakan bahwa pengalaman universitas telah menyebabkan mereka untuk menanyakan tentang keyakinan mereka. Studi Gallup dan Hill tahun 1961 menunjukkan bahwa 2⁄3 mahasiswa ada sekitar 7% diantaranya tidak mempercayai eksistensi Tuhan tersebut.
Dari data di atas nampak bahwa diantara mahasiswa yang keyakinannya terhadap Tuhan sangat kuat, walaupun secara tradisional. Dan hal itu berarti tidak menutup peluang munculnya problema keimanan bagi mereka. Apalagi diperoleh bukti-bukti bahwa jika mereka ada yang tidak meyakini tentang eksistensi Tuhan, biasanya berkaitan erat dengan penerimaan mereka terhadap ilmu pengetahuan orang atau alam sebagai ultimate concern mereka. Pada saat menghadapi tahun-tahun terakhir belajar mereka, banyak diantaranya yang lambat laun kembali kepada nilai-nilai yang diinternalisasi oleh mereka pada tahun-tahun sebelumnya, dan dengan tidak ragu-ragu mereka menggabungkan diri dengan kegiatan jamaah agamanya.
Dari sisi lain lagi, diduga kenyataan-kenyataan di atas juga berkaitan erat dengan masalah jabatan atau pekerjaan mereka, sebab menurut Henry Clay Liddgren dalam bukunya “The Psychology of College Success” (1969; 120), pada umumnya mahasiswa yang telah memilih suatu pekerjaan memiliki ide yang lebih baik. Mereka sudah dapat memahami, siapakah mereka, dan akan kemana mereka? Apalagi kalau mempertimbangkan bahwa masalah pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Jabatan atau pekerjaan pada umumnya tidak hanya menjadi indikasi tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga dapat mengarahkan pandangan hidupnya, perhatian dan cara-cara mereka menghadapi kehidupan secara nyata. Di samping itu bagi seseorang suatu jabatan atau pekerjaan merupakan jalan yang membuka kesempatan bagi dirinya untuk lebih memperluas proses sosialisasi. Kenyataan itu pada gilirannya akan memungkinkan mereka untuk mengatur masa depannya. Dengan perkataan lain, jabatan atau pekerjaan akan dapat mengurangi berkecamuknya pikiran ganda antara tanggung jawab keluarga dan sumber penghidupannya, dan sekaligus membuka peluang untuk mempersiapkan dan mengantisipasi diri untuk hidup lebih tenang. Namun hal itu tidak berarti semua orang akan menjadi sedemikian mudah meraih ketenangan hidup. Justru konflik-konflik keagamaan akan terjadi selama seseorang menjalani kematangan hidup, dan periode usia pertengahan dua puluhan selalu dipertimbangkan sebagai periode yang paling sulit. Kenyataan itu kemungkinan disebabkan oleh terlampau banyaknya masalah hidup yang harus dihadapi oleh mereka.

C. Faktor-Faktor Penyebab Problema Keimanan
Sebagaimana pendalaman tentang kualifikasi keimanan, maka pemahaman tentang faktor-faktor penyebab timbulnya prblema keimanan menjadi lebih penting, sebab hal ini menyangkut aspek-aspek yang datang dari luar dan akan berfungsi sebagai angin penghembus yang dapat menggoyahkan keimanan seseorang. Dilihat dari faktor penyebab ini, Kalish mengidentifikasi lima hal yang dapat mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama, yaitu: 1) kontradiksi antara ilmu dan agama; 2) akibat mempelajari agama lain; 3) kesulitan membatasi kebebasan agama; 4) masalah tujuan hidup; dan 5) arti mati dan hidup sesudah mati. Rincian pembahasan kelima faktor tersebut dapat diurutkan sebagai berikut.

1. Pertentangan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan pengembangannya menuntut kebebasan, kelugasan dan kerasionalan. Ilmu pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenai keadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri. Pada akhirnya harus ditekankan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan upaya untuk menghasilkan satu set interaksi yang kompleks antara tuntutan pemecahan ekonomi dan persoalan-persoalan kemasyarakatan dengan upaya melatih para peneliti dan ahli-ahli lainnya untuk menggorganisasi penelitian-penelitian ilmiah tersebut agar benar-benar manfaat bagi manusia (Amaddu-Mahtar M’bow, 1982; 69).
Sebaliknya agama pun berorientasi pada kesejahteraan hidup manusia. Keyakinan agama menggariskan bahwa manusia telah diberkati oleh Tuhan dengan berbagai kekuatan dan kemampuan yang tidak terhingga. Manusia memeliki kecerdasan dan kebijaksanaan, keinginan dan kemauan, kemampuan melihat, mendengar, merasakan, berbicara, cinta, dan sayang, takut dan marah, dan sebagainya karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya saja keberhasilan hidupnya sangat tergantung kepada ketepatan pemanfaatan semua kekuatan dan kemampuannya untuk penyempurnaan keinginan dan kebutuhan.
Namun demikian tetap terbuka celah-celah yang mendatangkan titik-titik pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, baik pangkal tolaknya, prosesnya maupun sasaran akhir. Dalam hubungan ini, Kalish menerangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi sedemikian pentingnya bagi kehidupan manusia dewasa ini. Dari hal itu sebagian orang mengaku bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah dapat menggantikan peran agama. Disinilah mulainya terjadi kegoncangan dalam diri orang yang beragama karena mereka terlibat dalam monolog yang mempermasalahkan mana yang paling benar dan patut diikuti di antara keduanya.
Secara metodologis memang terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian, sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan dan semua kenyataan itu diciptakan oleh Tuhan.
Jadi, walaupun tidak sepenuhnya tertutup, dapat dipahami apabila sedemikian sulitnya mempertemukan ilmu pengetahuan dan agama. Menurut Samuel Sandmel (1975;8) dengan menggunakan ungkapan “saya kira” saja dalam rangka menghadapi ilmu pengetahuan dan agama perlu menjabarkannya ke dalam ungkapan “saya tahu” bagi pendekatan ilmu, dan “saya percaya” untuk pendekatan agama. Menurutnya, pernyataan “saya tahu”ada indikasi bahwa fakta dan data sudah ada di tangan, atau setidaknya sudah siap diperlihatkan. Sebaliknya ungkapan “saya percaya” memberikan indikasi bahwa kenyataannya tidak betul-betul dipahami secara pasti.
Selanjutnya berkaitan erat dengan kegiatan berpikir. Dalam hubungan ini, W. Edgar Vinacke dalam bukunya “The Psychology of Thinking” (1974; 5) menerangkan bahwa secara tradisional berpikir itu melibatkan dua aspek, yaitu aspek alasan dan aspek imajinasi. Aspek alasan menunjukkan adanya kelogisan dan rasional, serta terdapat kegiatan pemecahan masalah. Sedangkan imajinasi smenunjukkan kepada adanya kombinasi dan penggabungan ulang semua pengalaman masa lampau, dan secara relative bebas dari tuntutan hadirnya kondisi ekstrinsik.

2. Akibat Mempelajari Agama Lain

3. Masalah Tempat Kebebasan Agama
Pada dasarnya hak dan kewajiban itu adalah bebas tapi terikat. Artinya manakala seseorang telah mengikatkan diri pada suatu keyakinan, sejak saat itu sebenarnya yang bersangkutan telah mengikatkan diri pada keharusan melaksanakan kewajiban sebagai perwujudan dari pengakuannya. Namun demikian juga bebas untuk melaksanakan atau tidaknya, hanya ada resiko moral jika yang kebebasan itu diartikan menuruti kemauannya, bisa jadi apa yang dimilikinya akan menjadi terganggu, karena pada dasarnya tidak melaksanakan kewajiban itu bertentangan dengan keinginan sendiri dan orang lain.

4. Menentukan Tujuan Hidup
Secara prosedural tujuan hidup itu dapat ditetapkan melalui pergaulan, pengembangan pikiran, atau mendasarkan pada literatur dan referensi tertentu. Formulasinya tentu tidak statis, dan mungkin berkelanjutan untuk berkembang serta berubah mengikuti tahun-tahun kematangan beragamanya walaupun kebingungan dan kemuraman akan senantiasa berulang kembali.
Asosiasi umum dalam menginterpretasikan tujuan hidup itu adalah sesuatu yang dianalogikan dengan kesenangan, ketenteraman, kesejahteraan, dan berbagai hal positif lain yang dapat mengenakan individu, baik secara fisik maupun untuk memenuhi tuntutan mental. Interpretasi inilah sebenarnya yang membuka peluang bagi orang yang beragama untuk mempertanyakan, apakah benar tujuan hidup harud didasarkan pada prinsip-prinsip agama? Pertanyaan-pertanyaan seperti muncul sebagai wujud kebimbangan, karena ada imbangan pertanyaan-pertanyaan lain yang membayanginya, mengapa orang yang tidak beragama atau bahkan atheis juga dapat meraih kesenangan dan ketenangan hidup?

5. Arti Mati dan Mati Setelah Hidup
Pada umumnya orang terpaku, seolah-olah ukuran mati itu adalah ketuaan. Apabila dipegangi, bagi orang-orang seusia mahasiswa dan pemuda diperhitungkan akan masih panjang umurnya. Namun mereka tetap cemas terhadap masalah mati ini, sehingga mereka juga melibatkan diri untuk memahaminya labih mendalam.
Keterangan-keterangan agama mengenai arti mati dan eksistensi manusia sesudah kamatiannya, memang memberikan kesenangan dan ketenangan terhadap sejumlah orang, sehingga tidak perlu lahi memikirkan masa depan yang tanpa eksistensi. Namun hal itu tidak berarti menutup peluang untuk tetap mempertahankan, apa sebenarnya mati itu? Bukankah saya pernah berada dalam ketidakadaan saya dan pada waktu itu saya tidak merasakan apapun tentang diri saya? Apabila mati itu berarti kembali pada ketidakadaan, mengapa saya mempercayai adanya hidup sesudah mati? Apalagi mengapa saya harus mempercayai bahwa konon di sana akan diperoleh ganjaran dan siksaan? Buknkah hal itu justru membuat panic manusia? Demikian kira-kira ekspresi internal seseorang yang mengalami problema keimanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar