Salam Akhukum Fillah....

Ahlan Wasahlan.....

Sabtu, 11 Februari 2012

Kehidupanku…

Setiap orang pasti akan mengalami kehidupan, sedih, susah senang ataupun bahagia itulah kehidupan yang harus setiap orang hadapinya. Seperti apakah hidup yang baik itu?
Dikala waktu saya SD, saya pernah mendapat Peringkat 3 yang tak pernah disangka-sangka olehku karena memang hobiku waktu SD selalu main dan main hanya saja saya bisa belajar ketika menghadapi Ujian caturwulan itupun disuruh oleh orang tuaku.
Menginjak kelas 1 Tsanawiyyah saya mulai berpisah dari orang tua, selain statusku sebagai murid di sekolah, saya pun sebagai santri di pondok sekolah tersebut. Begitu asingnya nama pesantren bagiku sehingga ada rasa kecemasan dalam hati dalam mengemban statusku sebagai santri. Tetapi kecemasan-kecemasan tersebut lama kalamaan terhapuskan oleh kakak-kakak asrama dan pembimbing asrama/ ustadz yang selalu membimbingku dari hal yang terkecil sampai hal-hal yang besar. Semua suka duka selalu saya kenang begitu indahnya dan dapat menjadi proses pendawasaan buat saya, dari hal keseharian saya di pondok, ataupun kejadian-kejadian yang lucu, bahagia bahkan menyedihkan masih selalu saya kenang …
Hal yang paling indah ketika saya dengan teman saya berniat mengazzamkan diri untuk kuliah ke Mesir, dari sana saya dan teman selalu mentargetkan untuk menghafalkan al-Quran, dari mulai bagaimana metode menghafalnya, sampai minjam bukun ke salah satu ustadz di pesantren yang kebetulan ustadz tersebut kuliahnya di Libya. Disela-sela kesibukan untuk mencapai cita-cita tersebut sayapun di amanahi sebagai bidang Pendidikan dan Dakwah di salah satu Organisasi Santri yaitu ISFI (Ikatan Santri Firdaus).
Hal yang paling membanggakan lagi ketika Haflah Imtihan saya mendapat Juara 1 yang kebetulan saya lulus Tsanawiyyah, begitu merasa aneh yang biasanya saya mendapat 5 besar menjadi Juara 1 dan memang itu membutuhkan perjuangan yang sangat besar karena yang saya rasakan mata palajarannya sangat banyak yaitu sebanyak ± 30 mata pelajaran, dan Alhamdulillah ternyata pernah merasakan Juara 1 di Tingkat Tsanawiyyah… kebahagiaan yang sungguh luar biasa…
Ketika menginjak Aliyyah masih di sekolah yang sama, kebetulan pesantren sekolah saya di mulai dari RA/TK, Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah, dan Aliyyah. Saya berniat untuk menyibukan diri dengan sesuatu yang bermanfaat dari mulai saya ikutan kursus bahasa arab, bahasa inggris, dan aktif di salah satu organisasi d Thulabi Club disana kita dilibatkan dalam kegiatan mentoring, begitu indahnya hidup yang saya rasa…
Kebahagiaan lainnya ketika saya di Aliyyah Alhamdulillah saya selalu peringkat 1 sampai kelas XII dan Hal yang paling membahagiakan lagi ketika saya mendapat Beasiswa Depag untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, setelah ada informasi bahwa kata ustadz harus kembali ke pesantren untuk persiapan pendaftaran, saya dan teman disibukkan untuk mengurus semua administrasi yang harus disiapkan dari mulai menentukkan Universitas dan Jurusannya, pada waktu itu saya memilih UIN Kalijaga jurusan Tafsir Hadits. Beberapa hari kemudian informasi tahap kedua di umumkan dari sana saya ada perasaan sedih dan ada juga perasaan senang karena yang lulus ke tahap tiga hanya saya sendiri. Dengan waktu yang sangat mendesak saya disibukkan untuk belajar lagi semua pelajaran untuk persiapan test yang diadakan di SMA cijerah yang pesertanya ± 5000 orang se-indonesia. Ada perasaan pesimis juga ketika itu, melihat dari berbagai keadaan. Dan akhirnya memang saya dinyatakan tidak lulus, ada perasaan sedih juga ketika itu mungkin memang dari persiapan atau dari usaha saya tidak maksimal. Tetapi walaupun demikian semua kejadian yang menimpa saya semuanya sangat bermanfaat dan dapat dijadikan pelajaran untuk saya.
Itulah kehidupan yang saya alami, kehidupan dapat berarti jika kita semua melakukannya dengan baik yang sesuai dengan ketentuan-Nya, sedih, senang itu hanya perjalanan kehidupan menuju kehidupan yang lebih Baik lagi…

Senin, 26 Desember 2011

Sekejap, Tapi Berbuah Makna

Dari jam 11:00 kamis 22 Desember 2011 kami sudah stanby di viaduct untuk berangkat ke kampus II UNISBA yang beralamat di ciburial dago, dalam melaksanakan acara SILATDA (Silaturahmi Daerah) yang diselenggarakan oleh HIMA (Himpunan Mahasiswa)-HIMI(Himpunan Mahasiswi) PERSIS BANDUNG bekerjasama dengan IPP (Ikatan Pelajar Persis) dan IPPI (Ikatan Pelajar Persis Putri), acaranya berlangsung dari tanggal 23 jumat Desember 2011 – 25 Ahad Desember 2011, semua peserta terdiri dari berbagai Pesantren Persatuan Islam (PPI) yang ada di bandung, adapun bentuk acara yang diselenggarakan terdiri dari beberapa Janis yaitu: seminar pendidikan, seminar astronomi, seminar teknologi, bedah buku. Training, perlombaan-perlombaan antar tsanawiyyah dan mua’llimin, dan reuni asatidz/asatidzah antar pesantren.
Semua acara berjalan dengan lancar dan sukses karena berkat panitia-panitia yang kerja kerasnya sangat luar biasa, diberbagai kesibukan ketika acara berlangsung. Tidak mengenal apa amanah saya, tetapi ketika ada dihadapan mata yang patut kita kerjakan kita mengerjakannya, saling membantu ketika kesulitan menimpa, saling memotivasi ketika pesimis menyapa, tersenyum ketika sakit itu datang, itulah yang patut kita tanamkan dalam kagiatan-kegiatan apapun…subhanallah… banyak hikmah khususnya untuk saya, teruntuk panitia SILATDA 1 jazakallah khoirun katsiron atas bantuannya, motivasinya, dan amanah yang diberikan kepada saya, dll…


Semangat untuk semuanya….

^_^

Sabtu, 28 Mei 2011

Catatan Kecil

Pengalaman yang sangat berkesan tapi tetap harus di jaga dengan ikatan Syariat dan tentu aku juga harus bersyukur kepada Allah SWT… mudah-mudahan menjadi Berkah dari setiap apa yang aku lakukan…
Dan tentu juga tidak akan pernah hilang dalam memoriku-ku kejadian ini… subhanallah…
Ketika aku sedang di uji keimanan ku aku harus kuat sebagaimana kita ketika menghadapi ujian semester yang sangat fitrah ingin nilai yang memuaskan dan ini juga ketika kita di uji dalam keimanan berarti kita juga harus berusaha supaya bernilai tinggi dimata Allah SWT… ya Allah Ya Rabb… kuatkanlah Aku…
Aku memang mempunyai cita-cita besar tapi itu juga tidak lupa dengan syari’at Allah, dengan keridhoan Allah,,, rasanya hampa ketika tercapainya cita-cita tetapi tanpa kebahagiaan Allah… ya Allah Jauhkanlah…

Senin, 09 Mei 2011

Pendidikan Akhlak Dalam Keluarga

A. Pengertian pendidikan akhlak dalam keluarga
Kata pendidikan menurut etimologi berasal dari kata dasar didik apabila diberi awalan me, menjadi mendidik maka akan membentuk kata kerja yang berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan bila berbentuk kata benda akan menjadi pendidikan yang memiliki arti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Istilah pendidikan dalam konteks Islam telah banyak dikenal dengan menggunakan kata yang beragam, seperti at-Tarbiyah, at-Ta’lim dan at-Ta’dib. Setiap kata tersebut mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda.
Akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa memikirkan untung rugi. Orang yang berakhlak baik, melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun, demikian juga orang yang berakhlak buruk, melakukan keburukan secara spontan tanpa mempertimbangkan akibat bagi dirinya maupun bagi yang dijahati.
Keluarga dalam bahasa Arab adalah al-Usrohyang berasal dari kata al-asru yang secara etimologis mampunyai arti ikatan. Kata keluarga dapat diambil kefahaman sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, atau suatu organisasi bio-psiko-sosio-spiritual dimana anggota keluarga terkait dalam suatu ikatan khusus untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan ikatan yang sifatnya statis dan membelenggu dengan saling menjaga keharmonisan hubungan satu dengan yang lain atau hubungan silaturrahim. Al- Razi mengatakanal-asru maknanya mengikat dengan tali, kemudian meluas menjadi segala sesuatu yang diikat baik dengan tali atau yang lain. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan keluarga adalah prosest ransformasi prilaku dan sikap di dalam kelompok atau unit sosial terkecil dalam masyarakat. Sebab keluarga merupakan lingkungan budaya yang pertama dan utama dalam menanamkan norma dan mengembangkan berbagai kebiasaan dan prilaku yang penting bagi kehidupan pribadi,keluarga dan masyarakat.
B. Pentingnya Pendidikan akhlak dalam keluarga
Syariat Islam menuntun manusia menuju jalan yang lurus yakni akan membawa mereka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Quran banyak menyebut dan menunjukkan kedudukan akhlak sebagai bagian dari syariat islam. Allah swt memberikan gambaran mengenai Nabi Muhammad Saw dalam firman-Nya sebagai berikut:
“ Sesungguhnya engkau memiliki akhlak (budi pekerti)yang paling mulia” (Q.S. al-qalam :4)
Secara garis besar pendidikan yang harus dibina dalam keluarga adalah pendidikan akhlak, seperti dalam Hadits dikatakan bahwa “ Betapa pentingnya akhlak dalam kehidupan kita dapat dimengertikan melalui doa Baginda Raulullah SAW yang bermaksud, “Ya Allah, jadikanlah pada akhlakku mulia sebagaimana Engkau menjadikan jasadku baik.” (Hadis riwayat Ahmad)
Satu lagi hadis Nabi SAW yang bermaksud: “Sesungguhnya orang yang sangat dicintai dan sangat dekat kedudukannya kepadaku pada hari akhirat ialah orang Islam yang paling baik akhlaknya dan sesungguhnya orang yang paling dibenci di kalangan kamu di sisiku dan yang paling jauh dariku di akhirat ialah orang yang buruk akhlaknya.” (Hadis riwayat Ahmad)
Berbagai masalah sosial melanda umat Islam, khususnya di kalangan anak muda hari ini adalah kerana kurangnya penghayatan terhadap nilai sedia ada dalam ajaran Islam. Justru, untuk membina kembali imej dan umat Islam, maka kita perlu membangun dan membetulkan landasan akhlak mereka.
Kita perlu kembali menitik beratkan pendidikan akhlak yang tapak awalnya bermula di rumah dan kemudian nilai itu perlu diperkaya serta diperkukuhkan lagi melalui institusi pendidikan formal.
Apa yang perlu disadari, sumber pembinaan akhlak untuk membentuk personaliti dan jati diri umat Islam sudah tersedia dan terhidang di dalam al-Quran dan sunnah. Inilah satu-satunya warisan dan khazanah suluhan hidup umat Islam yang sepatutnya menjadi contoh teladan umat manusia.
Adapun Syari'at Allah kepada Nabinya.yaitu :

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.” (HR. Malik dalam kitab Muwaththo')
Rasulullah saw juga bersabda:

ألا أخبركم بأحبكم إلي وأقربكم منى مجلسًا يوم القيامة قالوا بلى قال أحسنكم خلقًا
“Maukah kalian aku beritahukan tentang seseorang yang paling aku cintai dan paling dekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat kelak?”, para sahabat menjawab: “tentu”, Beliaupun bersabda: “dia adalah orang yang paling baik akhlaknya diantara kalian”.
Dan disebutkan didalam hadits Abu Hurairah ra

أكثر ما يدخل الجنة تقوى الله وحسن الخلق
“(Amalan) yang paling banyak memasukkan ke jannah adalah akhlak yang baik dan taqwa kepada Allah”.
Adapun hadits lain juga yangenai tentang akhlak adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw bersabda: “ tiga hal di antara akhlak ahli syurga: memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang mengharamkanmu, dan berbuat baik terhadap orang yang telah berbuat buruk kepadamu”. (H.R. Al- Thabrany).
“Aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (H. R. Malik). “Sesuatu yang paling berat di atas timbangan kebaikan adalah akhlak yang baik.” (H.R. Abu Dawud)
Pada hadits lain disebutkan, seseorang telah datang ke hadapan Rasulullah Saw lalu berkata, “Apakah din (agama) itu?” Beliau bersabda, “Kebaikan akhlak.” Kemudian orang itu mendatanginya dari sebelah kanannya, lalu bertanya lagi, “ apakah din itu?” Beliau bersabda, “Akhlak yang baik.” Kemudian orang itu mendatanginya dari sebelah kirinya, lalu bertanya lagi, “ Apakah din itu?” Beliau bersabda, “Kebaikan Akhlak.” Kemudian orang itu mendatanginya dari belakangnya, lalu bertanya lagi, “Apakah din itu?” Beliau bersabda, “Kebaikan akhlak”. Lalu orang itu bertanya lagi, “ Wahai Rasulullah, apakah din itu?” Dan Rasulullah berpaling padanya lalu bersabda, “Tidak mengertikan kamu? Baiklah janganlah kau marah!”. (H.R. Muhammad ibn Nashr Al-Marwazi)
Rasulullah Saw juga pernah bersabda: “ Allah tidaklah menyempurnakan jasad dan akhlak seseorang untuk dilahap api neraka” (H.R. Ibnu Addiy). Dikisahkan ada yang bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apakah kesialan itu?” Beliau bersabda, “Kejelekan akhlak” (H.R. Ahmad). Dalam hadits lain disebutkan, ada seseorang berkata kepada Rasulullah Saw, “Berilah wasiat kepadaku.” Beliau bersabda, “Takutlah kepada Allah di manapun kamu berada.” Orang itu berkata lagi, “ Berilah tambahan wasiat.” Beliau bersabda, “Sertakanlah perbuatan baik setelah perbuatan jahatmu; niscaya akan menghapusnya.” Orang itu berkata lagi, “Berilah tambahan wasiat.” Beliau bersabda, “Bergaullah dengan orang-orang dengan akhlak yang baik.” (H.R. Al-Tirmidziy)
Di dalam al- Quran juga pun terdapat beberapa ayat mengenai tentang keutamaan akhlak, seperti :
“ Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.(Q.S Al- A’raf : 199)
”(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Q.S Ali- Imran : 134)
Begitu pula dalam firman Allah pada riwayat luqman tentang hikmah:
“ wahai anakku, dirikanlah shalat, serulah orang-orang untuk berbuat ma’ruf, cegahlah kemunkaran dan bersabarlah atas sesuatu yang menimpamu. Sesungguhnya itu semua dari hal-hal yang patut diutamakan.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Q.S Luqman : 18)
Pada ayat-ayat tersebut di atas, Allah mengisyaratkan kewajiban untuk berperilaku mulia. Ayat-ayat itu pun menunjukkan kebaikan akhlak dan keutamaannya. Allah berfirman:
“Tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan”.(Q.S Asy-Syu’ara:43)
Secara garis besar, ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan kepada kemuliaan akhlak dan kemanisan budi pekerti.

C. Pendidikan akhlak dalam keluarga
Secara garis besar pendidikan dalam keluarga yang harus dibina salah satunya yaitu pembinaan akhlak. keluarga dalam hal ini harus memahami keutamaan akhlak yang baik, kebaikan akhlak juga tergantung pada konsistensi kekuatan amarah dan syahwat yang sejalan dengan akal dan syarak. Konsistensi ini dapat dicapai dengan tiga jalan sebagai berikut:
1. Dengan kemurahan ilahiah dan kesempurnaan fitrah. Karena manusia diciptakan dan dilahirkan dengan kesempurnaan akal dan kebaikan akhlak, cukuplah itu baginya untuk menguasai amarah dan syahwatnya. Kemurahan ilahiah dan kesempurnaan fitrah merupakan karunia yang sejalan dengan akal dan syarak sehingga orang dapat menjadi alim tanpa belajar atau menjadi beradab tanpa penuntun.
2. Proses usaha pencapaian akhlak yang baik dilakukan dengan riyadlah dan mujahadah, yakni dengan melakukan amal perbuatan baik yang diinginkan. Dengan melakukan riyadlah dan mujahadah itu, diharapkan seseorang dapat menikmati perbuatan baik yang telah menjadi kebiasaan dirinya, bahkan dia membenci perbuatan-perbuatan buruk. Rasulullah Saw bersabda, “ Aku membiasakan diri menangis di waktu shalat”. (H.R. An-nasa’i)
3. Dengan menyaksikan orang-orang yang berakhlak baik dan berteman dengan mereka. Orang-orang seperti itu adalah teman-teman yang baik dan menuju kebaikan. Kepribadian seseorang bisa merupakan adopsi dari kepribadian orang lain, apakah itu kepribadian baik atau kepribadian buruk.
Jika sifat paling mulia hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw, kita sebagai orangtua juga harus menanamkan akhlak mulia kepada anak-anak, membimbing mereka tumbuh dengannya, mengajari mereka setiap saat dan menjadi suri teladan. Tidak ada artinya orang mengajarkan akhlak mulia, sementara kehidupan ia sendiri bertolak belakang dengannya. Akan sulit menanamkan kemuliaan dalam perilaku anak jika kita tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata diri kita sendiri.
Adapun cara untuk menumbuhkan akhlak yang mulia adalah, diantaranya yaitu:
1. Menanamkan kejujuran
a. Seorang bapak harus benar-benar jujur dalam menghadapi anak-anaknya. Ia harus menjawab setiap pertanyaan anak dengan jawaban yang sederhana dan jujur.
b. Doronglah anak-anak supaya selalu jujur. Hindari cara-cara kasar ketika menghalangi kedustaan mereka.
c. Ingatkan anak anda pada sabda Nabi Saw dalam riwayat at-Tabrani, “ Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak jujur dan tidak ada artinya agama bagi orang yang tidak menepati janji” Dalam riwayat lain, beliau bersabda : “ Tunaikanlah amanat kepada orang yang telah mengamati kamu dan jangan mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu”
2. Keberanian
a. Berilah pujian terhadap setiap upaya anak yang mengandung unsure keberanian. Segeralah menyatakan meskipun muncul pada usia dini.
b. Perhatikanlah keberanian di depan anak-anak dan berceritalah tentangnya. Kepribadian anda harus menjadi suri teladan bagi mereka. Anda juga boleh menceritakannya, bukan untuk membuat kesulitan-kesulitan dalam kehidupan anda, tetapi dengan cara yang tulus sehingga mereka memahami bahwa ada hal-hal sulit yang dialami bahkan oleh orang dewasa sekalipun.
c. Ajarkan kepada mereka, keberanian adalah berani berbuat benar dan bersegera membantu orang lain, berpikir sebelum mengambil suatu langkah, dan memohon pertolongan Allah Swt sebelum melakukan ssegala sesuatu.
3. Bergaul dengan baik
a. Ingatkanlah anak-anak anda pada prinsip Qurani;
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”.(Q.S. Fushilat : 34)
b. Ajarkan kepada mereka bahwa kalau ada orang yang mau mengamalkan prinsip ini tentu tidak akan terjadi permusuhan dan pertikaian.
c. Ajarkan kepada mereka bahwa pergaulan memerlukan sikap rendah hati, hati-hati dan tekad yang kuat. Rendah hati menunjukkan kekuatan, bukan kehinaan. Rasulullah Saw menyuruh kita untuk rendah hati tanpa merasa hina dan keji. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian rendah hati dan hendaklah kalian tidak bertengkar dengan jiwa yang lain” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Kita wajib bersikap lemah lembut dalam segala sesuatu. Rasulullah Saw bersabda, “ Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelemahlembutan. Dia memberikan sesuatu kepada kelembutan yang tidak Dia berikan kepada kekasaran.” (H.R. Muslim)
Ketenangan dan kemantapan jiwa adalah nalia-nilai mulia. Rasulullah Saw bersabda, “ Maukah aku katakan kepada kalian orang yang haram terkena api neraka? Yaitu setiap orang yang lemah lembut dan mudah (menerima kebenaran).” (H.R. at-Tirmidzi)
Seorang mukmin bukan pribadi yang keras dan kaku. Allah Swt berfirman : “
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka ….”
d. Ajarkan sejak kecil bahwa bergaul dengan baik merupakan aktivitas nyata. Jika anak meminta sesuatu berulang-ulang dengan gelisah dan suara keras, mintalah ia untuk bersikap tenang dahulu, jangan sampai anda larut dalam kemarahannya. Tenangkan juga diri anda, kemudian ajaklah ia untuk duduk di bangku, jika anda yakin gejolak emosinya sudah mereda, berikanlah sesuatu yang diinginkan. Buatlah ia mengerti bahwa kebaikan dan ketenangan telah membantunya mendapatkan sesuatu, bukan emosi dan kemarahan. Emosi dan kemarahan tidak akan mendatangkan kebaikan dan memberikan manfaat apapun kepada kita.
4. Bersandar pada diri sendiri
a. Ajarkan anak-anak anda bahwa orang harus bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya. Dan Allah Swt berfirman; “
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”. Rasulullah Saw bersabda, “ Tidak ada makanan yag lebih baik daripada makanan hasil jerih payah sendiri.” (H.R. Bukhari). Anak-anak harus berusaha selalu belajar dengan tekun dan rajin agar menjadi pribadi yang mandiri dan dapat hidup dari hasil keringatnya sendiri.
b. Pelajari kemampuan anak-anak anda. Telusuri minat dan bakatnya. Bantulah mereka mengenali jati dirinya.
c. Biarkan anda-anda meraih rekornya sendiri tanpa harus disbanding-banding dengan orang lain.
d. Berilah penghargaan pada setiap upaya yang telah mereka lakukan.
e. Upayakan semaksimal mungkin, anda lebih banyak mengajukan usulan atau pilihan daripada menyuruhnya.
f. Upayakan untuk mengurangi pemberian putusan-putusan.
g. Tanyakanlah kepada mereka perihal kelemahannya dan kendala terbesar yang ia hadapi. Bantulah ia memahami bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya. Allah Swt berfirman: “

“5. Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
5. Tidak berlebihan dan disiplin
Allah Swt memberikan gelar bagi orang yang beriman melalui firman-Nya, “
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan”.
Ajari anak anda, dalam setiap perkara yang diperbolehkan, agar tidak berlebihan dalam makan, minum, berbicara, berolahraga, bergaul. Ajari ia untuk mengenal batas-batas kemampuan badan dan akal serta menghindari sikap berlebihan dan hilang kendali diri.
6. ‘iffah dan ikhlas
Allah Swt menyebutkan bahwa salah satu sifat mukmin adalah menjaga diri agar tidak terjerumus pada hal-hal yang haram. Allah Swt berfirman; “

“5. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki”.
Orangtua yang mulia dan dapat menjaga kesucian dirinya akan menghasilkan anak-anak seperti mereka. Menjaga kesucian diri bukan berarti penghalang atau penghancur manusia sebagaimana pernyataan orang-orang yang suka mengumbar hawa nafsu, tetapi sarana kebaikan bagi umat manusia. Tanpa menjaga kesucian diri, hawa nafsu akan bebas dalam setiap kesempatan untuk berbuat sesuatu yang mencelakainya dan hancur bersamanya.
7. Menepati janji
Allah Swt berfirman. “
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.

8. Menghargai
Rasulullah Saw bersabda, “ Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati orangtua, menyayangi yang lebih muda, dan mengetahui hak orang yang berilmu”. (H.R. Ahmad, al-Hakim dan at-Thabrani)
Jika kita menginginkan anak dapat menghormati orang lain, maka kita wajib memulainya dari diri kita sendiri. Kita berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka dalam sikap penuh penghormatan. Kita buat mereka merasa sebagai orang yang dihormati.
9. Rasa cinta
10. Mementingkan orang lain
Ajarkan kepada anak anda intisari sabda Rasul Saw, “ Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari Muslim)
Ingatkanlah kepada mereka bahwa penduduk Madinah adalah penghulu atau figur orang-orang yang mementingkan orang lain sehingga menjadi panutan setiap orang, baik masa dahulu maupun sekarang. Dengan suka cita mereka menerima dan menolong kaum muhajirin dari Mekah serta berbagai apapun yang mereka miliki.
Allah Swt menurunkan ayat-Nya yang terus diperdengarkan sampai hari kiamat; “
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.
Ajarkan kepada mereka agar merasakan kebutuhan orang lain. Kebahagiaan pun akan muncul setelah memberikan kesenangan kepada orang lain.
11. Lemah lembut
Ingatlah bahwa anak-anak anda setiap waktu bahwa pribadi yang lembut dan sopan lebih dekat dengan hati orang lain, lebih dicintai dan disukai oleh orang lain. Allah Swt mengingatkan nabi-Nya yang memiliki akhlak mulia melalui firman-Nya;
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka”. (Q.S. Ali-Imran: 159)
Upayakan kita selalu penuh dengan rasa cinta, sikap lembut, dan sopan terhadap semua orang, termasuk kepada anak-anak anda. Perbanyak ungkapan-ungkapan kata-kata seperti “ terima kasih”, “tolong”, dan “maaf”. Bersikap bijaklah dalam setiap perilaku anda.
12. Adil
Bersikap adil kepada anak-anak supaya mereka menerti bahwa tidak ada diskriminasi di antara mereka. Jangan sampai terjadi satu orang mendapatkan hasiah sedangkan yang lainnya tidak. Jika ada yang bersalah, satu orang dihukum sementara orang lain tidak.
Pada intinya menanamkan norma-norma seperti di atas bukan hanya sekali dalam hidup ini. Anda harus terus memantaunya agar tertanam dengan kuat dalam jiwa mereka sepanjang hayat sehingga mereka menjadi anak sholeh yang dapat membahagiakan orangtuanya di dunia dan akhirat kelak.

Problema Keimanan

A. Kualifikasi Keimanan
Menghadapi permasalahan yang pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya. W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat tingkat keimanan, yaitu: 1. Keimanan yang verbalistik; 2 keimanan yang intelektualistik; 3 keimanan yang demonstratif; dan 4 keimanan yang komprehensif integrative. Garis besar orientasi keempat tingkat keimanan tersebut dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Keimanan yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, keimanan tingkat ini terbatas pada pemahaman mengenai ucapan-ucapan serta kata-kata magis keagamaan. Proses penerimaannnya langsung melalui prinsip stimulus-stimulus. Karena itu proses belajarnya berlangsung secara persuasif yang melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai hadiah atas kemampuannya.
Meskipun tipe keimanan seperti ini dikatakan mulai berkembang pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu, sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa untuk membantu memperlancar proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti, tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring yang seksama. Pantulan psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka akan merasa telah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan psikologis semata-mata.

2. Keimanan yang Intelektualistik
Tingkat ini sudah melibatkan pertimbangan proses berpikir secara kreatif yang lebih menjelimet dalam mencari kebenaran iman dibanding dengan tingkat yang pertama di atas. Pada tingkat ini orang terikat oleh kelogisan dan alasan-lasan yang masuk akal dalam upaya menerima keyakinannya. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keakinannya. Selebihnya perlu dicatat bahwa tidak perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses berpikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam tipe dan tingkat keyakinan ini diorientasikan pada bukti-bukti adanya Tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theology, maupun secara pragmatik. Bukti-bukti ontology didasarkan atas ide dan pemikiran manusia tentang Tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada pemikiran bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta dan harus ada karena ada alam ciptaannya. Sementara secara theology, bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya Pencipta dengan makhluk-Nya, karena itu Tuhan adalah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan adanya Tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.

3. Keimanan yang Demonstratif
Pada tingkat ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrative dari pada hanya dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan di sini berbeda disbanding dengan tingkat keimanan yang bersifat verbalistik maupun yang bertipe intelektulistik. Dasar pemikirannya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama yang ditampilkan secara demonstrative belum tentu didahului oleh analisis lohika mengenai benar-tidaknya keyakinan yang mendasarinya. Artinya belum tentu hasil analisis tentang keyakinan itu akan menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa tingkah laku dan pengamalan agama di sini hanya merupakan kebiasaan yang sudah melekat dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Jadi seorany muslim yang karena kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengarjalkan shalat shalat lima waktu apabila telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya itu didasarkan atas hasil analisisnya mengenai benarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan barbagai organism, maka hal itu biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya. Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan paksaan, atau tersembunyi sehingga menimbulkan rasa berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan tua tingkat di bawahnya, keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih tingga, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata. Apalagi disadari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat dilogokakan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam bentuk tindakan kongkrit merupakan satu prinsip yangbberlaku dalam kebanyakan lapangan kehidupan. Lebih tingga lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yangbertipe verbalistik, sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai hadiah atas kemampuannnya.

4. Keimanan yang Komprehensif dan Integratif
Ketiga tipe dan tingkat keimanan di atas nampak perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lain terpisah. Justru karena keterpisahannya itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasaan kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya apabila ketiga tipe tersebut menyatu dan terinternalisasi pada diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan integrative. Jelasnya apabila seseorang telah menguasai ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup lahiriahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama, maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini. Konotasi komprehansifnya dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga tipe keimanan di atas dalam sati totalitas yang terinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling memperkuat anatara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu maka terpatri tuntutan untuk mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konsepional tipa keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki tipe keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat. Paling jauh kita dapat mengidentifikasi bahwa seseorang yang telah sampai pada tingkat keimanan seperti ini akan memberikan daya tahan yang cukup kuat untuk menangkal hembusan-hembusan angin yang dapat menggoyahkan integritas dirinya dalam memegangi agama yang diyakininya. Konsekuensi logisnya kemungkinan terlibat dalam situasi problema keimanan masih terbuka, walaupun intensitasnya relatif rendah.

B. Keagamaan Mahasiswa
Kesinambungan uraian yang diungkapkan di atas memberi isyarat bahwa kehadiran problema keimanan pada setiap orang yang beragama diduga berkaitan erat dengan intensitas keterlibatannya dalam menggunakan kemampuan berpikir untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Kemampuan hidup di sini menyangkut aktivitas mental yang dapat menyampaikan pemikirnya pada kualifikasi rasionalistik. Biasanya aktivitas berpikir seperti ini ditujukan kepada berbagai tendensi teoritik dan praktik yang bermaksud untuk menafsirkan alam semesta ini semata-mata berdasarkan pemikiran, atau yang bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat dan pribadi sesuai dengan dasar-dasar pemikiran yang sedapat-dapatnya melenyapkan atau mendesak latar belakang segala sesuatu yang bersifat tradisional (Louis L. Snyder. 1965 ; 5).
Dengan mengacu pada batasan di atas, untuk mencari salah satu contoh keagamaan yang dipandang repserentatif mewakili seluruh masyarakat yang beragama, sejalan dengan orientasi pembahasan tentang problema keimanan ini, Kalish menonjolkan keagamaan mahasiswa. Dasar pemikirannya sederhana mahasiswa itu belum sepenuhnya termasuk kelompok ilmuwan, di lain pihak dengan kebiasaannya yang terikat pada aktivitas berpikir rasional, mereka juga sudah terlepas dari kelompok orang awam biasa yang terikat pada pemikirannya yang bersifat tradisional.
Dalam bukunya “ The Psychology of Human Behavior” (1970; 379), Richard A. Kalish menerangkan berbagai kampus. Di beberapa universitas, hampir semua mahasiswa mendatangi gereja. Namun setelah dihitung secara seksama, kira-kira seperempat mahasiswa datang menghadiri gereja secara teratur, dan seperempat lainnya tidak sama sekali. Kemudian kehadiran mereka di gereja menjadi semakin meningkat setelah mereka lulus.
Suatu penelitian besar yang mengamati tentang sikap para lulusan berbagai sekolah tinggi terhadap agama menunjukan hasil-hasil yang menarik untuk dipelajari. Para siswa yang menjadi responden itu ditanyai setelah empat tahun lulus dari universitasnya masing-masing. Dari mereka yang baru lulus dan bekerja terdapat 13% diantaranya yang menolak keyakinan agama. Sebaliknya mereka yang baru lulus tapi langsung bekerja, ternyata hanya terdapat 4% saja yang menolak keyakinan agama. Bahkan pada saat yang sama, mereka yang bekerja lebih berani menyatakan bahwa agama telah menjadi lebih penting selama empat tahun mereka belajar. Lebih menarik lagi ternyata apabila dibandingkan dengan mereka yang bukan mahasiswa, pada umumnya kelompok mahasiswa kelihatan berubah keyakinannya tidak lagi memegangi nilai-nilai agamanya yang tradisional.
Sikap keagamaan mahasiswa menghasilkan data, bahwa dari 4600 orang, separuh diantaranya menerima pandangan tentang Tuhan secara tradisional. Kemudian kurang dari 20% membuang ide tentang Tuhan, dan kebanyakan dari kelompok sisanya menyatakan bahwa mereka mempercayai terhadap orang lain, ilmu pengetahuan atau aturan alam. Lebih dari seperempatnya lagi mempercayai mengenai kekuatan yang lebih besar di luar dirinya sendiri. Yang mempunyai kekuatan itu bagi sebagian mahasiswa diorientasikan kepada Tuhan, sedang bagian lagi menyebutnya kekuatan alam. Hanya 1% sajalah yang betul-betul menegaskan bahwa mereka atheis.
Ada hal yang menarik mengenai keagamaan mahasiswa ini. Mereka mempraktekkan agamanya memang lebih merasa bahwa menipu adalah terlarang, tetapi anehnya mereka juga menyetujui terhadap pernyataan, “jika orang lain menipu, mengapa saya juga tidak?” ada juga sebagian kecil diantara mereka yang tidak menyukai adat atau norma-norma sosial yang ada.
Hasil-hasil dua survey terakhir juga mendukung data tersebut dengan beberapa catatan. Di tempat pemungutan suara “Newsweek’s” (1965) diperoleh angka bahwa 3⁄4 mahasiswa mempercayai terhadap adanya Tuhan, tetapi dalam beberapa kasus keyakinan tersebut lemah sekali. Demikian pula hampir 40% yang diwawancarai merasakan bahwa pengalaman universitas telah menyebabkan mereka untuk menanyakan tentang keyakinan mereka. Studi Gallup dan Hill tahun 1961 menunjukkan bahwa 2⁄3 mahasiswa ada sekitar 7% diantaranya tidak mempercayai eksistensi Tuhan tersebut.
Dari data di atas nampak bahwa diantara mahasiswa yang keyakinannya terhadap Tuhan sangat kuat, walaupun secara tradisional. Dan hal itu berarti tidak menutup peluang munculnya problema keimanan bagi mereka. Apalagi diperoleh bukti-bukti bahwa jika mereka ada yang tidak meyakini tentang eksistensi Tuhan, biasanya berkaitan erat dengan penerimaan mereka terhadap ilmu pengetahuan orang atau alam sebagai ultimate concern mereka. Pada saat menghadapi tahun-tahun terakhir belajar mereka, banyak diantaranya yang lambat laun kembali kepada nilai-nilai yang diinternalisasi oleh mereka pada tahun-tahun sebelumnya, dan dengan tidak ragu-ragu mereka menggabungkan diri dengan kegiatan jamaah agamanya.
Dari sisi lain lagi, diduga kenyataan-kenyataan di atas juga berkaitan erat dengan masalah jabatan atau pekerjaan mereka, sebab menurut Henry Clay Liddgren dalam bukunya “The Psychology of College Success” (1969; 120), pada umumnya mahasiswa yang telah memilih suatu pekerjaan memiliki ide yang lebih baik. Mereka sudah dapat memahami, siapakah mereka, dan akan kemana mereka? Apalagi kalau mempertimbangkan bahwa masalah pekerjaan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Jabatan atau pekerjaan pada umumnya tidak hanya menjadi indikasi tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga dapat mengarahkan pandangan hidupnya, perhatian dan cara-cara mereka menghadapi kehidupan secara nyata. Di samping itu bagi seseorang suatu jabatan atau pekerjaan merupakan jalan yang membuka kesempatan bagi dirinya untuk lebih memperluas proses sosialisasi. Kenyataan itu pada gilirannya akan memungkinkan mereka untuk mengatur masa depannya. Dengan perkataan lain, jabatan atau pekerjaan akan dapat mengurangi berkecamuknya pikiran ganda antara tanggung jawab keluarga dan sumber penghidupannya, dan sekaligus membuka peluang untuk mempersiapkan dan mengantisipasi diri untuk hidup lebih tenang. Namun hal itu tidak berarti semua orang akan menjadi sedemikian mudah meraih ketenangan hidup. Justru konflik-konflik keagamaan akan terjadi selama seseorang menjalani kematangan hidup, dan periode usia pertengahan dua puluhan selalu dipertimbangkan sebagai periode yang paling sulit. Kenyataan itu kemungkinan disebabkan oleh terlampau banyaknya masalah hidup yang harus dihadapi oleh mereka.

C. Faktor-Faktor Penyebab Problema Keimanan
Sebagaimana pendalaman tentang kualifikasi keimanan, maka pemahaman tentang faktor-faktor penyebab timbulnya prblema keimanan menjadi lebih penting, sebab hal ini menyangkut aspek-aspek yang datang dari luar dan akan berfungsi sebagai angin penghembus yang dapat menggoyahkan keimanan seseorang. Dilihat dari faktor penyebab ini, Kalish mengidentifikasi lima hal yang dapat mendongkel ketegaran keimanan orang yang beragama, yaitu: 1) kontradiksi antara ilmu dan agama; 2) akibat mempelajari agama lain; 3) kesulitan membatasi kebebasan agama; 4) masalah tujuan hidup; dan 5) arti mati dan hidup sesudah mati. Rincian pembahasan kelima faktor tersebut dapat diurutkan sebagai berikut.

1. Pertentangan antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan pengembangannya menuntut kebebasan, kelugasan dan kerasionalan. Ilmu pengetahuan juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenai keadaan dan perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri. Pada akhirnya harus ditekankan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan upaya untuk menghasilkan satu set interaksi yang kompleks antara tuntutan pemecahan ekonomi dan persoalan-persoalan kemasyarakatan dengan upaya melatih para peneliti dan ahli-ahli lainnya untuk menggorganisasi penelitian-penelitian ilmiah tersebut agar benar-benar manfaat bagi manusia (Amaddu-Mahtar M’bow, 1982; 69).
Sebaliknya agama pun berorientasi pada kesejahteraan hidup manusia. Keyakinan agama menggariskan bahwa manusia telah diberkati oleh Tuhan dengan berbagai kekuatan dan kemampuan yang tidak terhingga. Manusia memeliki kecerdasan dan kebijaksanaan, keinginan dan kemauan, kemampuan melihat, mendengar, merasakan, berbicara, cinta, dan sayang, takut dan marah, dan sebagainya karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya saja keberhasilan hidupnya sangat tergantung kepada ketepatan pemanfaatan semua kekuatan dan kemampuannya untuk penyempurnaan keinginan dan kebutuhan.
Namun demikian tetap terbuka celah-celah yang mendatangkan titik-titik pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, baik pangkal tolaknya, prosesnya maupun sasaran akhir. Dalam hubungan ini, Kalish menerangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi sedemikian pentingnya bagi kehidupan manusia dewasa ini. Dari hal itu sebagian orang mengaku bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah dapat menggantikan peran agama. Disinilah mulainya terjadi kegoncangan dalam diri orang yang beragama karena mereka terlibat dalam monolog yang mempermasalahkan mana yang paling benar dan patut diikuti di antara keduanya.
Secara metodologis memang terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu pengetahuan dan agama. Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian, sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan dan semua kenyataan itu diciptakan oleh Tuhan.
Jadi, walaupun tidak sepenuhnya tertutup, dapat dipahami apabila sedemikian sulitnya mempertemukan ilmu pengetahuan dan agama. Menurut Samuel Sandmel (1975;8) dengan menggunakan ungkapan “saya kira” saja dalam rangka menghadapi ilmu pengetahuan dan agama perlu menjabarkannya ke dalam ungkapan “saya tahu” bagi pendekatan ilmu, dan “saya percaya” untuk pendekatan agama. Menurutnya, pernyataan “saya tahu”ada indikasi bahwa fakta dan data sudah ada di tangan, atau setidaknya sudah siap diperlihatkan. Sebaliknya ungkapan “saya percaya” memberikan indikasi bahwa kenyataannya tidak betul-betul dipahami secara pasti.
Selanjutnya berkaitan erat dengan kegiatan berpikir. Dalam hubungan ini, W. Edgar Vinacke dalam bukunya “The Psychology of Thinking” (1974; 5) menerangkan bahwa secara tradisional berpikir itu melibatkan dua aspek, yaitu aspek alasan dan aspek imajinasi. Aspek alasan menunjukkan adanya kelogisan dan rasional, serta terdapat kegiatan pemecahan masalah. Sedangkan imajinasi smenunjukkan kepada adanya kombinasi dan penggabungan ulang semua pengalaman masa lampau, dan secara relative bebas dari tuntutan hadirnya kondisi ekstrinsik.

2. Akibat Mempelajari Agama Lain

3. Masalah Tempat Kebebasan Agama
Pada dasarnya hak dan kewajiban itu adalah bebas tapi terikat. Artinya manakala seseorang telah mengikatkan diri pada suatu keyakinan, sejak saat itu sebenarnya yang bersangkutan telah mengikatkan diri pada keharusan melaksanakan kewajiban sebagai perwujudan dari pengakuannya. Namun demikian juga bebas untuk melaksanakan atau tidaknya, hanya ada resiko moral jika yang kebebasan itu diartikan menuruti kemauannya, bisa jadi apa yang dimilikinya akan menjadi terganggu, karena pada dasarnya tidak melaksanakan kewajiban itu bertentangan dengan keinginan sendiri dan orang lain.

4. Menentukan Tujuan Hidup
Secara prosedural tujuan hidup itu dapat ditetapkan melalui pergaulan, pengembangan pikiran, atau mendasarkan pada literatur dan referensi tertentu. Formulasinya tentu tidak statis, dan mungkin berkelanjutan untuk berkembang serta berubah mengikuti tahun-tahun kematangan beragamanya walaupun kebingungan dan kemuraman akan senantiasa berulang kembali.
Asosiasi umum dalam menginterpretasikan tujuan hidup itu adalah sesuatu yang dianalogikan dengan kesenangan, ketenteraman, kesejahteraan, dan berbagai hal positif lain yang dapat mengenakan individu, baik secara fisik maupun untuk memenuhi tuntutan mental. Interpretasi inilah sebenarnya yang membuka peluang bagi orang yang beragama untuk mempertanyakan, apakah benar tujuan hidup harud didasarkan pada prinsip-prinsip agama? Pertanyaan-pertanyaan seperti muncul sebagai wujud kebimbangan, karena ada imbangan pertanyaan-pertanyaan lain yang membayanginya, mengapa orang yang tidak beragama atau bahkan atheis juga dapat meraih kesenangan dan ketenangan hidup?

5. Arti Mati dan Mati Setelah Hidup
Pada umumnya orang terpaku, seolah-olah ukuran mati itu adalah ketuaan. Apabila dipegangi, bagi orang-orang seusia mahasiswa dan pemuda diperhitungkan akan masih panjang umurnya. Namun mereka tetap cemas terhadap masalah mati ini, sehingga mereka juga melibatkan diri untuk memahaminya labih mendalam.
Keterangan-keterangan agama mengenai arti mati dan eksistensi manusia sesudah kamatiannya, memang memberikan kesenangan dan ketenangan terhadap sejumlah orang, sehingga tidak perlu lahi memikirkan masa depan yang tanpa eksistensi. Namun hal itu tidak berarti menutup peluang untuk tetap mempertahankan, apa sebenarnya mati itu? Bukankah saya pernah berada dalam ketidakadaan saya dan pada waktu itu saya tidak merasakan apapun tentang diri saya? Apabila mati itu berarti kembali pada ketidakadaan, mengapa saya mempercayai adanya hidup sesudah mati? Apalagi mengapa saya harus mempercayai bahwa konon di sana akan diperoleh ganjaran dan siksaan? Buknkah hal itu justru membuat panic manusia? Demikian kira-kira ekspresi internal seseorang yang mengalami problema keimanan.

Jumat, 08 April 2011

“Meniti jalan menggapi cinta Ilahi… “

Bismillahhirrahmanirrahiim
Subhanallah… kata-kata yang mempunyai makna besar untuk kita semua yang patut pula kita renungkan dan implikasikan dalam kehidupan sehari-hari, yang ketika orang dihadapkan untuk memilih sesuatu dia akan memilih yang terbaik untuk dirinya karena Allah. Itu merupakan anugerah yang besar yang patut kita syukuri walaupun ketika menghadapinya akan terasa sulit karena tidak sekehendak hawa nafsu kita. Tetapi harus kita ingat, bahwa Allah mengetahui apa yang kita inginkan, apa yang Dia kehendaki itu yang terbaik untuk kita. Yang terbaik menurut Allah bukan berarti selamanya sama apa yang kita inginkan, tetapi apabila apa yang dilakukan oleh kita memilih sesuatu ataupun melakukan sesuatu dengan Ridha Allah Swt.
Wallahu’alam bishawwab….
Mudah-mudahan ada manfaatnya…